SIMALUNGUN – Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Simalungun 2024, sejumlah kepala desa (pangulu) secara terang-terangan mengeluhkan tekanan politik yang mereka alami, diduga dilakukan oleh petahana yang tengah mencalonkan diri kembali. Para kepala desa ini menuding adanya upaya intimidasi yang dilakukan untuk memaksa mereka mendukung calon petahana, bahkan menggunakan aparat pengawas dan inspektorat sebagai alat tekanan.
Tumpal Sitorus, Pangulu Nagori Rambung Merah, Kecamatan Siantar, Simalungun, mengaku gerah dengan situasi politik yang semakin menekan. Dalam pernyataannya, ia secara tegas menyebutkan bahwa pemeriksaan oleh Inspektorat yang belakangan dilakukan kepada beberapa kepala desa bukan sekadar rutinitas, tetapi sarat dengan muatan politik untuk menggertak mereka yang tidak mendukung petahana.
“Kami diperiksa Inspektorat dengan cara yang mencurigakan, seolah-olah ada yang mau ditakut-takuti. Ini bukan pemeriksaan biasa, ini intimidasi terang-terangan,” ungkap Tumpal dengan geram, Selasa (22/10/2024), di salah satu kedai kopi di Komplek Megaland.
Tumpal menambahkan bahwa tekanan ini bukan hanya datang dalam bentuk pemeriksaan, tetapi juga melalui proyek titipan dari pemerintah kabupaten yang langsung menyasar ke desa. Ia mengungkapkan bahwa Rancangan Anggaran Biaya (RAB) yang seharusnya dirancang oleh desa, kini kerap diintervensi oleh atasan mereka. Parahnya, rekanan proyek pun ditentukan tanpa melibatkan kepala desa, seolah-olah desa hanya menjadi alat untuk mengamankan kepentingan politik petahana.
“Petahana jelas-jelas mempermainkan kami. Kami sudah punya rencana sendiri untuk desa, tapi tiba-tiba datang instruksi dari atas, proyek dititipkan begitu saja. Siapa yang mengerjakan pun sudah ditentukan tanpa melibatkan kami,” tegasnya.
Tumpal juga menyoroti program gotong-royong Marharoan Bolon yang digagas oleh petahana Radiapoh Hasiolan Sinaga (RHS). Menurutnya, program ini hanya sekadar pencitraan politik, tanpa dasar regulasi yang jelas. Ia menilai program tersebut malah membebani masyarakat desa yang harus ikut serta dalam kegiatan gotong royong tersebut.
“Kalau program Marharoan Bolon ini mau dipaksakan, regulasinya di mana? Ini hanya program pencitraan, tapi yang menanggung beban adalah masyarakat. Jangan sampai kita kembali ke zaman penjajahan, di mana rakyat dipaksa bekerja tanpa kompensasi yang jelas,” kritiknya.
Keluhan senada disampaikan oleh Rudianto Damanik, Pangulu Nagori Lestari Indah, Kecamatan Siantar. Ia menyayangkan sikap petahana yang selalu menjelekkan pemimpin sebelumnya dan mencoba menyalahkan pemerintahan masa lalu demi menarik simpati. Rudianto menegaskan bahwa tindakan semacam itu tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang pemimpin yang baik.
“Petahana terus saja menyalahkan pemimpin sebelumnya untuk menutupi kekurangannya. Ini bukan cara yang baik untuk meraih simpati masyarakat. Yang dibutuhkan adalah program konkret, bukan sekadar omong kosong dan menyalahkan orang lain,” cetusnya.
Rudianto juga menegaskan bahwa intervensi politik petahana telah merusak kinerja desa. Ia dan rekan-rekannya dipaksa mengerjakan proyek-proyek titipan yang tidak sesuai dengan kebutuhan desa, hanya demi kepentingan politik.
“Kami ini hanya ingin bekerja dengan baik untuk desa kami, tapi apa yang terjadi? Kami terus diintervensi, dipaksa menerima proyek-proyek titipan. Ini jelas menghambat kami dalam mengurus desa,” pungkas Rudianto.
Para kepala desa ini kini bersatu dalam menghadapi tekanan politik yang mereka sebut sebagai taktik licik petahana. Mereka berharap Pilkada Simalungun 2024 bisa berjalan dengan jujur dan adil, tanpa intimidasi yang memaksa mereka tunduk pada kepentingan politik tertentu. Simalungun, menurut mereka, butuh pemimpin yang lebih fokus pada pembangunan, bukan sekadar mencari kemenangan dengan cara-cara kotor.(JT/*)
0 Komentar